Yesus Kristus, Anak Tuhan? –
Bagian 2
Alih bahasa dari: Jesus
Christ, Son of God? – Part 2 of 2
Oeh: Dr. Lawrence Brown, MD
Kependetaan kristen mengakui secara
terbuka bahwa Yesus tak pernah menyebut dirinya sebagai “Anak Tuhan,” namun
mengklaim bahwa orang-orang lain menyebutnya demikian. Untuk hal inipun mereka sudah siap dengan jawaban dan alasannya.
Meneliti naskah-naskah yang menyusun Kitab
Perjanjian Baru, akan ditemukan bahwa pernyataan status “anak-Tuhan” dari Yesus
berasal dari penerjemahan yang keliru terhadap dua kata Yunani – pais dan huios, yang keduanya diterjemahkan sebagai “anak.” Penerjemahan
seperti ini nampak tidak cerdas. Kata Yunani pais berasal dari kata Ibrani ebed,
yang memiliki arti utama ‘pelayan’, atau ‘hamba’. Karenanya, terjemah utama
dari kata pais theoui adalah “pelayan
Tuhan,” sedangkan kata “anak” atau “anak Tuhan” semata hiasan yang berlebihan.
Menurut Kamus Teologi Perjanjian Baru
, “Kata asal dari kata Ibrani pais theou,
yakni ebed, mengandung penekanan
hubungan personal dan mulanya bermakna ‘hamba’”[1] Ini lebih menarik karena
dengan sempurna bersesuaian dengan ramalan Yesaya 42:1, yang dijunjung tinggi
dalam Matius 12:18: “Lihatlah, hambaKu [yakni dari kata pais] yang telah Kupilih,
kekasihKu yang dengannya jiwaku merasa senang . . .” Baik orang itu membaca
Versi King James, Versi King James Baru,, Versi Standar Revisi Baru, ataupun
Versi Internasional Baru, katanya adallah “hamba” dalam semua kasus. Mengingat
bahwa tujuan pewahyuan adalah untuk membuat kebenaran Tuhan menjadi jelas, orang
dapat berpikir bahwa kalimat ini merupakan corengan samar di wajah doktrin
anak-tuhan yang agung. Walau bagaimanapun, apa perlunya Tuhan mendeklarasikan
Yesus sebagai anaknya? Apa perlunya untuk mengatakan, “Lihatlah, anakKu darah
dagingKu . . .”? Jelas Tuhan tak akan berkata demiikian. Karenanya, doktrin
ini kurang mendapat dukungan perinjilan dari sisi perkataan Yesus maupun Tuhan,
dan mempunyai alasan yang bagus untuk dipertanyakan. Kecuali, tentu saja, jika Yesus tidak lebih
dari sekedar hamba Tuhan sebagaimana diuraikan dalam kalimat tersebut.
Mengenai penggunaan religius dari kata ebed, “Istilah ini digunakan sebagai
ekspresi kerendahan hati oleh seorang yang bijak dihadapan Tuhan.”[2] Lebih
jauh lagi, “Setelah 100 SM, kata pais
theou lebih sering bermakna “pelayan Tuhan,” seperti ketika diterapkan
pada Musa, para nabi, atau ketiga anak (Bar. 1:20; 2:20; Dan. 9:35).”[3]
Seseorang dapat dengan mudah terseret arus doktrinal: “Dari kedelapan contoh
frase ini, satu merujuk kepada Israel
(Lk. 1:54), dua merujuk kepada Dawud (Lk 1:69; Kisah Para Rasul 4:25), dan lima yang lainnya merujuk
pada Yesus (Mt. 12:18; Kisah Para Rasul 3:13, 26; 4:27, 30) . . . .Dalam
beberapa kejadian dimana Yesus disebut sebagai pais theou, kami jelas mempunyai tradisi lama.”[4] Jadi, Yesus tak
memiliki hak istimewa terhadap istilah ini, dan ketika digunakan, istilah
“jelas” berakar dari “tradisi lama.” Lebih jauh lagi, terjemahan yang jujur
harus merujuk kepada semua individu yang terkait dengan frase yang digunakan
dengan cara yang serupa. Namun pada kenyataannya tidak dilakukan demikian. Sementara
kata pais diterjemahkan sebagai
“pelayan” ketika merujuk kepada Dawud (Kisah Para Rasul 4:25 dan Luk 1:69) dan
kepada Israel (Luk 1:54), kata ini diterjemahkan sebagai “Anak” atau “anak
suci” ketika merujuk kepada Yesus (Kisah Para Rasul 3:13; 3:26; 4:27; 4:30).
Perlakuan yang memihak ini bersifat konsisten secara kanonik, namun cacat
secara logika.
Hal penting terakhir, jika bukan hal
kunci, adalah terungkapnya kesejajaran religius: “Jadi frase Yunani pais tou theou, ‘pelayan Tuhan,’
mempunyai konotasi yang tepat sama dengan nama Muslim Abdallah – ‘hamba
Allah’”[5]
Kesimetrian ini lebih mengejutkan lagi, karena
Kitab Suci Al-Qur’an menyebutkan Yesus sebagai orang yang memanggil dirinya seperti
itu – Abdallah (abd bahasa Arab untuk
hamba atau pelayan, Abd-Allah [juga diucapkan “Abdullah”] berarti hamba atau pelayan Allah). Menurut
kisahnya, ketika Maryam kembali kepada keluarganya beserta bayi Yesus yang baru
lahir, mereka menuduhnya sebagai tidak suci. Berbicara dari buaian sebagai
keaajaiban yang meyakinkan pernyataannya, bayi Yesus membela kemulyaan
ibundanya dengan kata-kata “Inni Abdullah
. . .” yang artinya, “Saya sungguh seorang hamba Allah. . .” (TMQ 19:30)
Terjemahan kata yunani huios
pada Perjanjian Baru menjadi “anak” (dalam arti harfiah) juga sama cacatnya.
Pada halaman 1210 Kamus Teologi
Perjanjian Baru karya Kittel dan Friedrich, arti kata huios bergeser dari arti harfiah (Yesus anak Maryam) menjadi arti
metaforik ringan (orang-orang beriman sebagai anak-anak raja [Mat. 17:25-26]),
menjadi arti metaforik halus (pilihan Tuhan sebagai anak-anak Ibrahim [Luk
19:9]), menjadi arti metaforik sehari-hari (orang-orang beriman sebagaii
anak-anak Tuhan [Mat. 7:9 dan Ibr 12:5]), menjadi arti metaforik spiritual
(para siswa sebagai anak-anak Pharisees [Mat. 12:27, Kisah Para Rasul 23:6]),
menjadi arti metaforik biologis (seperti dalam Yoh. 19:26, dimana Yesus
menyebut murid favoritnya kepada Maryam sebagai “anak nya”), menjadi arti
metaforrik buta sebagai “anak-anak kerajaan” (Mat 8:12), “anak-anak kedamaian”
(Luk. 10:6), “anak-anak terang” (Luk. 16:8), dan tentang segala sesuatu dari
“anak-anak dunia ini” (Luk. 16:8) hingga “anak-anak guruh” (Mark. 3:17). Kata
yang disalahfahami ini seolah spanduk yang berkibar dengan tullisan bercetak
tebal: METAAFORA! Atau seperti yang dikatakan Stanton secara fasih, “Kebanyakan
sarjana setuju bahwa kata Aramaik atau Ibrani dibelakang kata ‘anak’ adalah
‘pelayan.’ Jadi, ketika Roh Kudus turun pada Yesus saat pembaptisannya, Yesus
disapa oleh suara dari langit yang dalam ucapan Yesaya 42:1: ‘Lihatlah
pelayanku . . .yang Kupilih . . .telah Kuletakkan ruhKu padanya.’ Jadi, meskipun
Markus 1:11 dan 9:7 memastikan bahwa Yesus diserahi Tuhan dengan tugas
messianik, penekanannya adalah pada peranan Yesus sebagai pelayan upacara
peminyakan, bukannya sebagai Anak Tuhan.”[6]
Catatan kaki:
[1] Kittel,
Gerhard and Gerhard Friedrich (para editor), 1985, Theological Dictionary of the New Testament. Translated by Geoffrey
W. Bromiley, William B. Eerdmans Publishing Co., Paternoster Press Ltd. P. 763
[2] Ibid. p.
763
[3] Ibid. p.
765
[4] Ibid. p.
767
[5]
Carmichaell, Joel, M.A. 1962, The Death
of Jesus, New York, The Macmillan Company, pp. 255-6
[6]
Stanton, Graham N. 1989, The Gospel and
Jesus. Oxford
University Ppress, p.
225.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tuliskan komentar Anda